Penghujung Lima Belas: Melepas Delapan Belas, Menyambut Sembilan Belas

Mentjeritakan Tjerita-Tjerita
3 min readSep 16, 2023

--

Tahun lalu, ketika usiaku tepat menyentuh angka delapan belas, semua berjalan biasa saja. Aku tetap bangun pagi untuk bersiap kuliah dan berangkat lebih cepat agar tidak tertinggal bus — maklum, masih bertitel maba, masih semangat-semangatnya. Ayah dan Mama juga bukan tipikal orang tua yang selalu merayakan hari ulang tahun anaknya dengan memberikan kue atau barang mewah, sehingga kala itu aku sudah kenyang hanya dengan peluk dan doa baik mereka.

Ucapan selamat ulang tahun ya juga kuterima sejumlah satu-dua saja — dari seorang teman dekat dan seorang lainnya yang kebetulan memiliki tanggal lahir sama. Tidak ada yang istimewa. Aku sempat iri dan ingin menangis setiap melihat story instagram milik orang-orang yang tengah merayakan harinya. Mereka mendapatkan banyak sekali cinta, banyak sekali doa. Mereka berhasil mengimplementasikan dengan baik kata bahagia yang ada di lagu selamat ulang tahun. Tentu hal itu berbanding terbalik dengan keadaanku yang sama sekali tidak memiliki alasan apapun untuk melengkungkan senyum.

Seolah ada ruang di dalam hati yang baru saja ditinggal pergi oleh penghuninya, aku menyambut pertambahan usia dengan perasaan hampa. Tidak ada harapan istimewa yang berani kusampaikan pada Tuhan. Tidak ada ekspektasi yang sempat kulayangkan. Delapan belas tahun kubiarkan melangkah sendiri dalam mencari arti, kubebaskan ia dalam membawa diri ini menapaki terjalnya dunia tanpa ada yang membatasi. Hari itu, aku tidak pernah tahu bahwa delapan belas akan menjadi angka yang berhasil melukiskan banyak hal baru tanpa ragu.

Berkaca dari masa-masa itu, aku mengucapkan banyak sekali syukur atas semua hal yang kemudian terjadi hingga di detik aku menulis ini. Jika tahun lalu pertambahan usia terkesan biasa saja, kali ini kujadikan ia sebagai hari jadi paling istimewa. Peluk, cium, serta seluruh doa Mama dan Ayah kusimpan rapi dalam kotak bernama rasa bahagia. Meskipun hadiah yang diberikan masih sama seperti sebelumnya, tapi itu tidaklah sebatas hanya. Mereka menjadi teman yang menyaksikanku berjalan hingga sejauh ini. Menemaniku belajar dan bertumbuh saat tidak ada satupun raga yang mau meluangkan waktu.

Ketika aku merasa tidak memiliki siapa-siapa, mereka datang — sosok yang selama ini bersedia untuk mendengar segala tangis dan tawa, teman-teman yang selalu menungguku untuk bercerita dan berbagi resah. Tahun ini aku merasa dicintai sepenuhnya. Tidak ada lagi pilu yang membiru, sebab hariku telah dirayakan dengan utuh tanpa luruh. Saking seringnya, bibirku sudah tidak bisa menghitung berapa kali ia tersenyum hari ini. Berkali-kali aku merasa menjadi orang paling beruntung di bumi karena dikelilingi oleh orang baik banyak sekali.

Delapan belas berpamitan dan sembilan belas menyapa perlahan. Tangannya melambai penuh harap yang bersahabat. Binar matanya mengisyaratkan kegembiraan. Senyum manis terukir indah di bibir merah mudanya. Sebuah manifestasi dari banyaknya bunga-bunga yang kutanam setiap hari.

Jika tahun lalu aku melepas delapan belas untuk berjalan seorang diri, kali ini sembilan belas kuajak mengarungi dunia dengan penuh percaya diri. Jika tahun lalu tidak ada doa yang berani kuutarakan, kali ini banyak sekali mimpi yang sembilan belas layangkan. Aji mumpung, katanya. Besok ketika keberadaannya telah digantikan oleh sang-kepala-dua, ia tidak ingin menyesal karena takut dalam menggantungkan angan.

Delapan belas, terima kasih karena sudah mandiri dalam menyikapi segala rasa hati. Tugasmu telah selesai dalam membantu diri ini lebih dewasa lagi.

Dan sembilan belas, selamat datang. Mari kita berpetualang mencari sebanyak-banyaknya pengalaman. Aku tidak sabar untuk menuliskan cerita baru di setiap harinya.

Selamat ulang tahun!

--

--